top of page
  • Gambar penulisHasran

Urgensi Free Trade Agreement dengan Negara Mitra Dagang Non-Tradisional

Free Trade Agreement merupakan salah satu instrumen penting dalam menjaga kinerja perdagangan Indonesia. Konflik geopolitik yang menyebabkan tidak stabilnya ekonomi dunia membuat Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar untuk menyasar negara-negara non-tradisional.


Mitra dagang tradisional adalah negara yang konsisten masuk 15 besar secara berturut-turut selama 30 hingga 40 tahun sebagai sasaran ekspor Indonesia. Negara-negara tersebut diantaranya adalah Australia, Jepang, India, Korea Selatan, Belanda, Thailand, Uni Eropa, Malaysia, Filipina, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok, Hong Kong, dan Arab Saudi.


Di luar 15 negara tersebut akan dikategorikan sebagai negara non-tradisional dan saat ini berjumlah kurang lebih 111 negara.


Ketika perdagangan dengan negara-negara tradisional lazimnya diikat dengan Free Trade Agreement, maka Indonesia juga perlu melakukan hal yang sama dengan negara-negara non-tradisional. Free Trade Agreement ini akan menghilangkan tarif dan mengurangi hambatan non-tarif yang selama ini membuat produk-produk Indonesia sulit bersaing di pasar non-tradisional.


Selain itu, perjanjian dagang juga dapat membuat akses bahan baku menjadi lebih murah dan lancar, sesuatu yang akan sangat membantu memberikan nilai tambah pada produk Indonesia.


Kinerja perdagangan Indonesia sangat bergantung pada kondisi global. Saat ini, kondisi harga-harga komoditas ekspor utama Indonesia tengah naik di pasar global. Hal ini menyebabkan nilai ekspor Indonesia mengalami kenaikan walaupun secara volume mengalami stagnasi. Diperkirakan kenaikan ekspor ini akan berakhir ketika harga-harga komoditas ini kembali ke titik normal.


Perdagangan Indonesia juga ditentukan oleh perekonomian negara-negara mitra dagang tradisional. Perekonomian Indonesia pasca pandemi Covid-19 mulai menunjukkan pemulihan ketika negara-negara mitra dagang tradisional mengalami perbaikan.


Aktivitas manufaktur di negara-negara mitra dagang yang mulai membaik membutuhkan bahan baku/penolong yang disedikan oleh industri Indonesia.


Saat ini beberapa perekonomian mitra dagang tradisional mengalami penurunan, seperti Amerika serikat dan Uni Eropa yang mengalami inflasi tinggi. Sebagai dampaknya, ekspor non-migas di kedua pasar ini mengalami penurunan dalam dua kuartal terakhir. Sama halnya dengan ekspor non-migas ke Tiongkok yang turun karena kebijakan lockdown di beberapa kota seperti Shanghai, Beijing, Shenzen, dan Jilin untuk menghindari pandemi Covid-19.


Selain itu, impor Indonesia juga sangat bergantung pada kondisi negara-negara mitra dagang, terutama untuk bahan baku, yang sepenuhnya tidak dapat diproduksi di dalam negeri namun sangat dibutuhkan oleh industri.


Misalnya saja komoditas gandum yang sepenuhnya diimpor dari beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat dan Ukraina. Ketika gagal panen terjadi di Amerika serikat serta konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina terus memanas, harga komoditas gandum menjadi mahal, termasuk di Indonesia.


Antara Januari-Juli 2022, pangsa pasar ekspor non-migas Indonesia adalah Tiongkok (20,77%), Amerika Serikat (10,37), India (9,36%), Jepang (8,85%), ASEAN (19,35%), Uni Eropa (7,78%). Sedangkan sumber impor sektor non-migas Indonesia yang terbesar adalah Tiongkok (35,17), ASEAN (17,01%), Amerika Serikat (5,12%), Australia (4,86%). Dari negara-negara tersebut hampir semuanya merupakan pangsa pasar tradisional.


Namun, membentuk Free Trade Agreement sendiri bukanlah perkara mudah. Proses ini membutuhkan diplomasi kedua belah pihak maupun sosialisasi ke pelaku industri di masing-masing negara. Proses diplomasi dan sosialisasi ini sering membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.


Oleh karena itu, penting untuk menetapkan skala prioritas dalam merancang perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara non-tradisional.


Pertama, Free Trade Agreement baru yang akan dibentuk harus menarget negara-negara non-tradisional yang memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Pertumbuhan ekonomi ini akan menjadi gambaran tingginya permintaan komoditas di negara tersebut yang bisa ditargetkan oleh komoditas Indonesia.


Kedua, Indonesia perlu mengidentifikasi komoditas-komoditas unggulan yang akan diekspor ke pasar non-tradisional tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar perjanjian dagang tersebut bisa membawa dampak yang nyata terutama komoditas industri pengolahan, khususnya produk-produk UMKM.


Free Trade Agreement juga perlu memprioritaskan negara-negara penghasil bahan baku bagi tujuh industri prioritas: industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, kimia, farmasi, serta alat Kesehatan.


Sejatinya, perjanjian dagang dengan negara-negara non-tradisional sudah diinisiasi Indonesia sejak tahun 2008. Namun, hinggal Juli 2022 Indonesi baru menyelesaikan perjanjian dagang dengan empat negara non-tradisional yaitu Pakistan, Palestina, Chili dan Mozambique.


Selain itu terdapat beberapa perjanjian dagang yang masih dalam proses penyelesaian dan tahap pengusulan. Perjanjian dagang yang masih dalam proses penyelesaian terdiri atas perjanjian dengan Turki, Bangladesh, Iran, Tunisia, Mauritius, Maroko, Kanada dan Mercosur (Brasil, Argentina, Paraguay, dan Uruguay).


Sedangkan perjanjian dagang yang masih dalam tahap pengusulan diantaranya perjanjian dagang dengan India, Afghanistan, Ukraina, Fiji, Papua Nugini, Kolombia, Ekuador, Peru, Srilanka, Algeria, Djibouti, dan Afrika Selatan.

Neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sejak Februari 2020 dan berlangsung hingga saat ini. Di tahun 2022, total nilai ekspor Indonesia antara Januari dan Juli sebesar USD 166 miliar. Sedangkan impornya mencapai USD 137 miliar.


Sektor non-migas mendominasi 94,51% total ekspor. Sedangkan sektor migas hanya 5,49%. Jika dilihat dari strukturnya, sektor non-migas juga dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Industri pengolahan (manufaktur), pertanian dan pertambangan.


Industri pengolahan (manufaktur) adalah sektor non-migas terbesar dengan sumbangsih ekspor diatas 70%. Industri pengolahan (manufaktur) juga merupakan sektor non-migas dengan kontribusi impor tertinggi.


Menurut data BPS, selama bulan Januari-juli 2022 sebesar 77,66% impor Indonesia terdiri atas Bahan baku/penolong, 14,23% barang modal, dan 8,11% barang konsumsi. Bahan baku/penolong ini akan digunakan oleh industri manufaktur untuk memproduksi barang jadi yang siap dipasarkan di dalam negeri maupun ekspor.


Hal ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur memiliki peranan penting bagi perekonomian, termasuk perdagangan internasional. Tingginya aktivitas perdagangan internasional akan berdampak baik pada pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional. Defisit neraca perdagangan memang dapat berdampak negatif pada kestabilan moneter Indonesia.


Namun pembatasan terhadap aktivitas perdagangan baik ekspor dan impor akan mempengaruhi aktivitas pelaku usaha dan industri serta mempengaruhi daya beli masyarakat.


Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing produk lokal supaya produk lokal dapat bersaing di pasar internasional. Peningkatan daya saing membutuhkan upaya untuk menciptakan kualitas produk yang memenuhi standar internasional.


346 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page