top of page

Tantangan Ketertelusuran Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia di Tengah Tingginya Permintaan Global

Di tengah permintaan global yang terus meningkat atas produk kelapa sawit yang berkelanjutan, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam aspek ketertelusuran. Upaya peningkatan ketertelusuran minyak sawit berkelanjutan yang dapat dilakukan Indonesia adalah harmonisasi standar sertifikasi kelapa sawit dan mendorong inklusivitas rantai pasok yang berkelanjutan.


Pada prinsip keberlanjutan industri kelapa sawit, ketertelusuran dimulai dari asal area lahan perkebunan hingga produk akhir yang dikonsumsi. Ketertelusuran juga membuka aspek risiko dan penilaian dampak dari produk sepanjang rantai pasok yang dilewati, baik dampak sosial maupun dampak lingkungan.


Tantangan ketertelusuran produk minyak sawit berkelanjutan ini disebabkan belum tersedianya kebijakan pemerintah yang mewajibkan transparansi dan ketertelusuran yang mencakup seluruh rantai pasok produk kelapa sawit.


Industri kelapa sawit di Indonesia menyumbang 3,5% dari total PDB Indonesia, sekaligus menjadi salah satu primadona komoditas ekspor non-migas. Sepanjang 2022, nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 27.428,2 juta USD atau sebesar 10,81% dari total ekspor non-migas. Hal ini menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas penting bagi perdagangan Indonesia.



Sumber: Badan Pusat Statistik


Permintaan pasar global pada minyak kelapa sawit Indonesia juga semakin meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat, kenaikan terbesar ekspor minyak kelapa sawit (CPO dan turunannya) dalam lima tahun terakhir terjadi pada 2021 dengan peningkatan 58,79% senilai 27,6 miliar USD dibandingkan tahun sebelumnya.


Peningkatan permintaan global terhadap minyak kelapa sawit, jika tidak disertai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk terhadap lingkungan dan kondisi sosial masyarakat yang terlibat dalam rantai pasoknya


Sepanjang 2012 hingga 2021, importir minyak kelapa sawit Indonesia terbesar adalah India, Tiongkok, dan Pakistan. Namun demikian, secara global Uni Eropa merupakan konsumen terbesar ketiga minyak kelapa sawit dunia, dengan konsumsi sebesar 6.671 juta ton di tahun 2021.


Tren permintaan global terhadap produk kelapa sawit berkelanjutan terus meningkat, terutama dari negara-negara Uni Eropa. Laporan RSPO menyebut, penyerapan produk kelapa sawit berkelanjutan oleh Uni Eropa mencapai 45% dari rotal produksi global di tahun 2021.


Tidak hanya di Uni Eropa, tren hijau pasar Asia yang meningkat juga turut meningkatkan permintaan produk kelapa sawit berkelanjutan. Di India dan Tiongkok misalnya, keanggotaan asosiasi industri minyak kelapa sawit berkelanjutan di level nasional juga meningkat, seperti I-SPOC (India Sustainable Palm Oil Coalition) dan CSPOA (China Sustainable Palm Oil Alliance).


Hasil survey yang dilakukan oleh WWF-Singapore dan Accenture juga menunjukkan, 80% konsumen Singapura lebih memilih produk yang ramah lingkungan.


Peningkatan permintaan atas produk kelapa sawit berkelanjutan mendorong negara-negara produsen utama untuk terus bertransformasi pada praktik bisnis yang lebih sustainable, termasuk Indonesia.


Indonesia sendiri telah berupaya melakukan transformasi industri kelapa sawit menjadi lebih “hijau”. Salah satunya melalui sistem sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia, atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sejak 2011.


Jauh sebelumnya, beberapa perusahaan kelapa sawit dan NGO lingkungan Indonesia telah bergabung dengan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) di tahun-tahun awal berdirinya organisasi multipihak ini.


Berbeda dengan RSPO yang bersifat sukarela, standard ISPO merupakan kebijakan mandatory yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/ 3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Dalam perkembangannya, baik ISPO dan RSPO mengalami berbagai perubahan standar.


Kendati melalui skema sertifikasi dua standar, capaian industri kelapa sawit Indonesia terhadap prinsip berkelanjutan masih tergolong rendah. Data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) tahun 2021 menyebut, total lahan perkebunan yang sudah memiliki sertifikat ISPO berjumlah 5,78 juta hektare (ha) atau sebesar 45% dari total seluruh lahan produktif perkebunan kelapa sawit di Indonesia.


Sementara itu, jumlah area lahan produktif yang bersertifikasi RSPO di Indonesia jauh lebih sedikit, sekitar 2,31 juta hektar pada tahun yang sama. Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi industri kelapa sawit Indonesia untuk terus berbenah dalam meningkatkan cakupan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.


Salah satu yang menjadi tantangan besar dalam upaya tersebut adalah aspek ketertelusuran, yakni kemampuan untuk mengenali dan menelusuri suatu produk pada setiap tahapan dalam rantai pasok.


Pada standard ISPO terbaru misalnya, prinsip transparansi dan kemampuan telusur masih terbatas pada perkebunan hingga pengolahan dan bulking. Sementara itu, RSPO sebagai standar global menyaratkan ketertelusuran mulai dari pabrik hingga produk hasil olahan kelapa sawit melalui platform palmtrace


Kendati dua standar sertifikasi kelapa sawit tersebut mewajibkan ketertelusuran produk kelapa sawit, namun hanya sekitar 25% perusahaan yang memiliki kapasitas untuk meningkatkan cakupan ketertelusuran hingga lebih dari 90% produksi/konsumsi yang dapat ditelusuri hingga ke tingkat kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan ketertelusuran adalah salah satu tantangan besar.

Tantangan ini, salah satunya, disebabkan oleh kompleksitas rantai pasok minyak sawit, sehingga persoalan kepemilikan lahan, legalitas lahan, konflik kepentingan, dan minimnya konsensus mengenai definisi deforestasi turut berkontribusi pada lambatnya progress ketertelusuran minyak sawit di Indonesia.


Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan ketertelusuran produk kelapa sawit berkelanjutan adalah dengan harmonisasi prinsip nasional dan prinsip global. ISPO, sebagai standar nasional yang memiliki dasar legal dan mandatory bagi perusahaan Indonesia, mampu melengkapi RSPO yang masih bersifat voluntary.


Karena standar baru ISPO yang dinilai tidak inklusif, petani swadaya dapat mengadopsi standar RSPO yang dikhususkan untuk mereka dalam pemenuhan prinsip dan standar kelapa sawit berkelanjutan.


Posisi RSPO yang sudah diterima secara global tentunya membuat produk kelapa sawit Indonesia berada pada posisi yang lebih menguntungkan.


Jika ISPO sebagai standar nasional dapat ‘mengambil keuntungan’ dalam harmonisasi ini, maka dualisme standar kelapa sawit berkelanjutan tidak perlu lagi diperdebatkan. Hasilnya, perusahaan dan petani kelapa sawit dapat fokus dalam pemenuhan standar keberlanjutan dengan mengacu pada satu standar yang terharmonisasi.


Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page