top of page
Gambar penulisPingkan Audrine

Transformasi Digital dan Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen

Diperbarui: 12 Jun 2022

Pertama kali dipublikasikan di Koran Sindo (9/4/2022)


Transformasi digital telah mempercepat inklusi keuangan Indonesia, namun, tanpa literasi keuangan bagi masyarakat dan perlindungan konsumen yang memadai, transformasi ini hanya melahirkan disrupsi baru dalam perekonomian Indonesia seperti kebocoran data, penipuan investasi maupun penipuan dalam perdagangan daring.


Perlindungan konsumen hakekatnya merupakan aspek yang sangat penting tetapi cukup kompleks, yang sudah menjadi tantangan jauh sebelum transformasi digital dijadikan strategi prioritas negara dalam menyikapi perkembangan perekonomian dan menangkap peluang dari kesempatan ekonomi di tengah perkembangan digitalisasi.


Seperti kerap kali digaungkan dalam G20 dibawah presidensi Indonesia tahun ini, posisi konsumen dalam perekonomian modern seringkali mengalami asimetri informasi dan ketidakseimbangan kekuatan tawar yang cukup signifikan .


Salah satu syarat dalam menjamin keadaan pasar yang kompetitif, produsen dan penjual harus memperoleh pemasukan dari penjualan dan/atau memperluas pangsa pasarnya dengan memenuhi atau bahkan memuaskan kebutuhan konsumen. Ketersediaan produk maupun jasa perlu disesuaikan dengan sisi permintaan.


Hal ini dilakukan oleh penjual dengan meningkatkan kualitas dari produk/jasanya dan juga memastikan tersedianya ragam pilihan dan penawaran dengan harga yang kompetitif sehingga konsumen tidak akan beralih ke produsen atau penjual lain. Hanya saja, seringkali praktik di lapangan berkata lain dan untuk itu perlindungan konsumen memiliki peranan yang signifikan.


Penelitian CIPS memperlihatkan masih terdapat kesenjangan antara tingkat inklusi keuangan (76,19 persen) dengan literasi keuangan (38,03 persen) di Indonesia. Kesenjangan yang diperparah oleh kurangnya cakupan perlindungan konsumen saat ini sudah memungkinkan timbulnya berbagai kasus kebocoran data konsumen.


Sebagaimana diberitakan, jutaan data konsumen marketplace diduga diperjualbelikan dalam sebuah situs. Setelah itu, kembali terjadi kebocoran pada data kesehatan para peserta instutusi jaminan kesehatan pemerintah. Diluar kedua kasus tersebut, ada kasus-kasus serupa yang mungkin saja tidak mendapatkan perhatian publik. Sudah sejauh mana pemerintah mampu melindungi kepentingan masyarakat?


Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen


Menelisik asal-usulnya, Hari Hak Konsumen Sedunia yang jatuh pada tanggal 15 Maret setiap tahunnya bertepatan dengan hari ketika Presiden ke-35 Amerika Serikat (AS), John F. Kennedy, menyampaikan pidatonya di depan kongres Amerika Serikat pada tahun 1962 yang bertajuk “A Special Message for the Protection of Consumer Interest”. Dua puluh tiga tahun berselang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Panduan Perlindungan Konsumen.


Resolusi ini menjadi tonggak sejarah bagi perlindungan konsumen di tataran global dan kemudian diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) Nomor 8 Tahun 1999 yang masih berlaku hingga sekarang.


Dalam pidatonya, Presiden Kennedy menyampaikan empat prinsip perlindungan konsumen yaitu hak atas keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan dan hak untuk memilih barang dan/atau jasa atau dengan kata lain melindungi konsumen dari praktik monopoli.


Mengikuti dinamika perkembangan perekonomian, PBB kemudian merevisi resolusi Majelis Umum PBB Nomor tahun 1985 dan menerbitkan Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB No. E/1999/INF/2/Add.2 dan terakhir dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 70/186 tanggal 22 Desember 2015.


Revisi terakhir ini secara spesifik menyoroti kebutuhan negara berkembang, penetapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan serta urgensi pemerintah untuk bekerja sama lintas batas di tengah era globalisasi. Adapun beberapa hal yang mengalami perubahan terdapat pada paragraf mengenai isu privasi, e-commerce dan layanan keuangan.


Resolusi terakhir menggandakan prinsip perlindungan konsumen dari yang semula hanya empat dalam pidado Presiden Kennedy, menjadi delapan. Empat prinsip tambahannya adalah hak atas pemenuhan kebutuhan dasar; hak atas advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen serta kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak atas edukasi terhadap perlindungan konsumen dan hak atas lingkungan yang sehat.


Seperti pada tataran global, kerangka peraturan di tingkat kawasan pun juga secara berkala diperbaharui oleh ASEAN. Kesadaran atas disrupsi perekonomian yang diakibatkan transformasi digital, terutama terkait pola perdagangan, telah mendorong pembaharuan kerangka regulasi dan prinsip-prinsip perlindungan konsumen agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan risiko-risikonya yang mengancam hak-hak konsumen.


Sayangnya, pemerintah Indonesia masih belum merevisi UU PK tahun 1999 yang memiliki keterbatasan dalam menjamin hak-hak masyarakat sebagai konsumen. Revisi ini perlu mencakup peran pihak ketiga yang berperan sebagai penghubung antara penjual dan konsumen, seperti e-commerce, dalam penyelesaian sengketa. Sebagai pihak ketiga, platform e-commerce sesungguhnya memiliki peran penting dalam menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara konsumen dengan penjual.


Selain belum diakuinya pihak ketiga dalam UU PK, aturan-aturan yang ada saat ini belum selaras dalam hal mekanisme ganti rugi dan pelaporan. UU menyebutkan ganti rugi dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSKI), sementara Peraturan Pemerintah Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menyebutkan harus melalui Kementerian Perdagangan. Revisi diperlukan agar konsumen tidak bingung, sekaligus untuk memperjelas tanggung jawab antara kementerian/lembaga terkait.


Lebih lanjut, akan sangat mungkin terdapat irisan dengan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang masih dalam tahap pembahasan di DPR. Di tengah maraknya produk/layanan digital yang bergantung pada data konsumen, RUU PDP sangat diperlukan untuk mengatur hak dan kewajiban penyedia layanan dan konsumen, terutama untuk memperjelas tujuan penggunaan data pribadi dan data apa saja yang boleh diakses penyedia layanan yang berhubungan dengan transaksi tersebut.


Kesimpulan


Pemerintah dalam kick-off meeting Digital Economy Working Group G20 yang diselenggarakan pada 15 Maret menegaskan, aspek inklusi, pemberdayaan, dan keberlanjutan menjadi tujuan dari transformasi digital agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Walaupun tidak disampaikan secara gamblang, namun aspek perlindungan konsumen tidak dapat dipisahkan dari ketiganya jika melihat kembali prinsip-prinsip dari perlindungan konsumen yang diakui secara global.


Dinamika perekonomian global telah berhasil mendorong pembaharuan pada prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang kini mencakup aspek digitalisasi ekonomi. Agar perekonomian Indonesia dapat terus bertumbuh dan memiliki daya saing serta hak-hak masyarakat selaku konsumen terjamin, maka UU Perlindungan Konsumen perlu untuk direvisi sembari mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PDP.

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


Commenting has been turned off.
bottom of page