Meningkatnya kebutuhan gula nasional perlu diikuti daya dukung dari industri dan ketersediaannya di pasar. Penggunaan sistem neraca komoditas dan impor bisa menjadi alternatif yang efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
“Terancamnya ketersediaan gula, salah satunya, dikarenakan oleh menurunnya produktivitas dan restriksi dari negara impor. Faktor kemunculan keduanya disebabkan oleh curah hujan tidak menentu dan El Nino. Di tengah kebutuhan gula yang kian meningkat, saat ini peningkatan sistem neraca komoditas dan kuota impor harus menjadi fokus utama untuk pemenuhan konsumsi gula nasional.” ujar Peneliti Center for Indonesian Policy Studies
Peningkatan implementasi sistem neraca komoditas yang menjadi basis penerbitan Persetujuan Impor (PI) perlu menjadi perhatian, terutama pada mekanisme perhitungan, penetapan, dan pengalokasian kuota impor untuk tiap perusahaan. Walaupun sudah berbasis data, sistem ini masih dianggap belum transparan seperti yang dicita-citakan.
Selain itu penentuan kuota impor yang hanya didasarkan pada dimensi permintaan dan penawaran tanpa mempertimbangkan harga juga tidak efektif. Padahal harga mencerminkan ketersediaan stok.
Dalam sepuluh tahun terakhir, produktivitas gula di Indonesia terus turun. Berdasarkan National Sugar Summit Indonesia, Produksi gula yang semula 2,4 juta ton di tahun 2022 kini turun kembali menjadi 2,3 ton di tahun 2023. Sedangkan kebutuhan konsumsi gula rumah tangga maupun industri tiap tahun meningkat.
Pernyataan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada rapat terbatas mengenai tatanan kebijakan nasional yang dipimpin oleh Presiden Jokowi pada Juli tahun 2022 menyebutkan kebutuhan konsumsi gula nasional di tahun 2024 adalah sebanyak 7,3 juta ton. Dari jumlah ini, konsumsi untuk industri adalah sebesar 4,1 juta ton. Sayangnya, produksi dalam negeri masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan ini.
Di tahun 2023, produksi gula dalam negeri hanya 2,3 juta ton saja. Untuk mencukupi konsumsi tersebut pemerintah telah menyetujui impor gula sebanyak 5,4 juta ton di tahun 2024 dengan porsi gula rafinasi (keperluan industri) sebanyak 4,77 juta ton.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pelaku industri biasanya mengimpor gula mentah dari luar negeri terutama Thailand, India, Brazil, dan Australia. Namun karena terdampak El-Nino, produktivitas di negara pengimpor juga akan berkurang.
Contohnya Thailand. Thai Sugar Millers Corp memangkas perkiraan produksi gula tertinggi di Thailand pada tahun 2023/24 menjadi 7 hingga 7,5 Metrik ton dari perkiraan bulan November sebesar 7 hingga 8 metrik ton.
Anjloknya stok gula Thailand dapat berdampak pada impor di Indonesia, ditambah adanya prediksi terkait peningkatan harga gula sebesar 20% di pasar global. Hal ini terjadi karena Thailand merupakan pemasok impor stok gula terbesar di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia telah melakukan impor gula sekitar 3,5 juta ton selama periode Januari-Agustus 2023. Impor gula tersebut mayoritas berasal dari Thailand, yakni mencapai 2,1 juta ton atau berkontribusi 60,63% dari total impor gula nasional.
Negara asal impor gula terbesar berikutnya adalah Australia dengan volume 551 ribu ton (15,89%), diikuti Brasil 500 ribu ton (14,43%), dan India 308 ribu ton (8,90%). Sementara, impor gula dari negara-negara lainnya hanya sekitar 5 ribu ton (0,15%).
Tidak hanya faktor impor, kondisi produksi dalam negeri juga berpengaruh dalam pemenuhan konsumsi gula. Di Indonesia sendiri, penurunan produktivitas gula dapat dilacak dari proses on-farm (perkebunan) tebu di Indonesia.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebut, rata-rata per hektar lahan hanya mampu menghasilkan 61 ton tebu di 2023. Ini masih jauh dari target pemerintah dalam roadmap atau peta jalan untuk mempercepat swasembada gula yang sebesar 93 ton per hektar untuk dapat mencapai tahap swasembada gula.
Meskipun saat ini pemerintah telah mengumumkan berbagai langkah untuk menjaga stok dan pemenuhan konsumsi gula, namun kebijakan yang dapat mengantisipasi permasalahan ketersediaan dan harga dalam jangka panjang selayaknya menjadi fokus utama.
Semenjak diimplementasikan pada tahun 2022, permasalahan yang umum dalam neraca komoditas adalah waktu penerbitan PI yang cenderung terlambat dan penetapan kuota impor yang tidak transparan.
Saat ini, kasus keterlambatan penerbitan PI belum terjadi pada gula. Namun penerbitan PI sudah berlaku pada komoditas pangan lain seperti garam. Jika tidak ada evaluasi yang mendalam terkait penyebab keterlambatan ini, hal serupa bisa saja terjadi pada komoditas gula dan pangan lainnya di masa yang akan datang.
Terkait kuota impor, penetapannya didasarkan pada input dari importir di SINSW (Sistem Indonesia National Single Window), baik industri maupun rumah tangga. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan survei ke tiap-tiap importir.
Keseluruhan kuota ini akan didiskusikan dalam Rapat Koordinasi Terbatas atau Rakortas yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Perekonomian. Namun bagaimana mekanisme perhitungan dan penetapan kuota ini masih belum transparan.
댓글