Oleh Nadia Fairuza Azzahra & Natasya Zahra
Unduh versi PDF di sini.
Pesan Utama
Pemerintah telah memberi wewenang kepada perguruan tinggi luar negeri (PTLN) untuk mendirikan kampus fisik di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 53/2018. Melihat rendahnya kualitas perguruan tinggi dalam negeri, yang disebabkan oleh sejumlah faktor seperti rendahnya mutu pengajaran, riset, dan sumber daya manusia, keterbatasan pendanaan, dan tata kelola yang buruk, hadirnya PTLN di Indonesia membuka peluang bagi para mahasiswa Indonesia untuk memperoleh pendidikan kelas dunia di dalam negeri—opsi yang sebelumnya tidak tersedia.
Permenristekdikti No. 53/2018 mewajibkan semua PTLN untuk menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi lokal di bidang akademik, penelitian dan inovasi. Akan tetapi, peraturan ini tidak berlaku untuk PTLN yang didirikan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 10/2021. Karena kemitraan ini dapat menjadi sulit untuk diselenggarakan tanpa adanya ketentuan yang mengatur, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dapat mengambil peran untuk memfasilitasinya.
PTLN dapat memainkan peran penting dalam mendorong universitas-universitas lokal untuk meningkatkan kualitas, serta menjadi mitra strategis guna memperbaiki mutu perguruanperguruan tinggi Indonesia dan menggenjot pembangunan ekonomi lokal. Kemitraan antara Monash University Indonesia dan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa mencerminkan hal tersebut dengan diselenggarakannya berbagai kegiatan bersama, mulai dari riset hingga program-program mobilitas mahasiswa dan akademik, dan komitmen Monash University untuk mengembangkan talenta dan potensi lokal Provinsi Banten.
Guna memanfaatkan keberadaan PTLN di Indonesia secara maksimal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) perlu memfasilitasi kerja sama produktif antara PTLN dengan perguruan tinggi Indonesia. Fasilitasi ini penting untuk membina transfer pengetahuan dan teknologi serta membantu mengembangkan ekosistem riset di Indonesia melalui berbagai pengaturan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Di saat yang sama, ini membutuhkan perhatian khusus dari Kemendikbudristek terhadap upaya pengembangan kapasitas sumber daya manusia universitas lokal untuk memastikan bahwa mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam bekerja sama dengan PTLN.
Kemendikbudristek juga perlu memasukkan PTLN ke dalam program-program pendidikan tinggi Indonesia, seperti menjadikan PTLN sebagai destinasi beasiswa pascasarjana dan program mobilitas untuk memperkenalkan pendidikan berkualitas kelas dunia kepada para mahasiswa dan akademisi Indonesia lainnya.
Gambaran Umum Pendidikan Tinggi di Indonesia
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menekankan pentingnya peningkatan akses dan kualitas pendidikan tinggi[1][2] dalam membuka potensi talenta-talenta lokal demi mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi negara. Namun demikian, Kemendikbudristek terus menghadapi tantangan dalam meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi dan memperbaiki kualitas dan daya saing institusi-institusi pendidikan lokal.
Pada 2021, Kemendikbudristek berencana untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi dari 30,3% pada 2019 menjadi 34,6% pada 2021, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemendikbudristek tahun 2020-2024. Target ini tidak tercapai, karena berdasarkan laporan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2021), angka partisipasi kasar di tahun 2021 hanya mencapai 31,2%. Dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, partisipasi pendidikan tinggi Indonesia menjadi di antara yang terendah. Menurut perhitungan OECD (2021), hanya ada 5,0% orang dewasa berusia 25 hingga 64 tahun di Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana atau setara—dibandingkan 9,3% di India, 7,0% di Afrika Selatan, dan 17,4% di rata-rata negara G20 pada tahun 2021. Di tingkat regional, persentase masyarakat Indonesia berusia 25 tahun ke atas yang menyelesaikan pendidikan sarjana atau setara juga lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Proporsi populasi Indonesia dengan kualifikasi pendidikan tersier hanya mencapai 9,4%, terpaut jauh dari Thailand (14,9%) dan Singapura (31,6%) (UNESCO Institute for Statistics, 2018, dikutip dalam Bank Dunia, 2019).
Dalam hal mutu, Indonesia hanya membuat sedikit perbaikan, terlepas dari berbagai kebijakan yang diterapkan dalam lebih dari satu dekade untuk meningkatkan kualitas dan daya saing pendidikan tingginya (Jarvis & Ho Mok, 2019). Salah satu target Kemendikbudristek dalam Renstra 2020-2024 adalah diakuinya perguruan-perguruan tinggi Indonesia sebagai Universitas Kelas Dunia (World Class University atau WCU)[3], yang ditunjukkan oleh masuknya universitas ke dalam peringkat global, khususnya Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking (WUR)[4].
Di tahun 2022, hanya ada empat universitas Indonesia yang masuk dalam daftar Top 500 QS WUR,[5] sedikit meningkat dari sepuluh tahun yang lalu ketika hanya ada tiga institusi Indonesia yang masuk ke daftar tersebut. Pencapaian ini tidak ada apa-apanya dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, yang dua universitasnya menempati peringkat ke-11 dan 12, dan Malaysia, yang lima institusinya masuk ke dalam peringkat Top 200 tahun 2022 (QS Top Universities, 2022). Hanya ada 99 (3,65%) dari 2.713 universitas terakreditasi di Indonesia pada tahun 2020 yang memiliki akreditasi A dan predikat Unggul. Fakta ini menyiratkan rendahnya kualitas perguruan tinggi Indonesia (Dirjen Dikti, 2020)[6]. Selain itu, universitas-universitas negeri dengan akreditasi A dan predikat Unggul mayoritas terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan sebagian besar universitas negeri di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara hanya terakreditasi B dan berpredikat Baik Sekali. Sementara itu, mayoritas universitas swasta di Indonesia juga belum terakreditasi, menunjukkan adanya kesenjangan kualitas yang signifikan antara universitas negeri dengan swasta di Indonesia.
Kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang kurang optimal disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti rendahnya mutu pengajaran, riset, dan sumber daya manusia, tata kelola yang buruk, serta keterbatasan dalam hal otonomi akademik dan manajemen (Rosser, 2018; Yasih & Mudhofir, 2017).
Menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (2020), jumlah Doktor di Indonesia hanya membentuk sekitar 14.5% dari total akademisi pada 2020. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Malaysia, yang memiliki akademisi bergelar Doktor sejumlah 37% dari universitas negerinya saja pada 2015 (Ministry of Education Malaysia, 2015). Jumlah Doktor yang sedikit ini menghadirkan sejumlah tantangan dalam menghasilkan jumlah dan kualitas hasil riset yang diinginkan.
Rendahnya produktivitas riset para akademisi Indonesia diduga disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri, insentif keuangan, kompetensi menulis makalah ilmiah dan berbahasa Inggris, serta keterbatasan waktu untuk menulis karena banyaknya urusan administrasi dan tanggung jawab jabatan struktural dari universitas (Purwanto, Ardiyanto, & Sudargini, 2021; Rakhmani & Siregar, 2016). Namun demikian, jumlah publikasi Indonesia di jurnaljurnal internasional terindeks Scopus[7] melampaui negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam antara 2019-2020 (Putera et al., 2022). Di saat yang sama, Indonesia berada di urutan kedua kontributor jurnal-jurnal predator yang menerima makalah berkualitas rendah dengan mekanisme seleksi yang patut dipertanyakan (Macháček & Srholec, 2021). Fakta ini menunjukkan kecenderungan bahwa akademisi Indonesia lebih memprioritaskan jumlah publikasi dibanding menghasilkan tulisan yang bermutu dan berdampak secara akademik.
Lebih jauh lagi, buruknya performa pendidikan tinggi Indonesia juga diduga memiliki keterkaitan dengan rendahnya mutu pendidikan di jenjang dasar dan menengah. Menurut hasil tes Programme for International Students Assessment (PISA) (OECD, 2018), siswa-siswi Indonesia berusia lima belas tahun memperoleh rerata skor yang rendah di bidang numerasi (urutan ke-73), literasi (urutan ke-74), dan sains (urutan ke-71) dari 79 negara. Rendahnya kompetensi keterampilan-keterampilan fundamental di usia sekolah membuat pembelajaran di jenjang-jenjang selanjutnya menjadi sulit, terlebih untuk melakukan riset di tingkat pendidikan tinggi.
Dengan perkembangan industri saat ini yang menitikberatkan pada ekonomi berbasis manufaktur dan jasa yang membutuhkan adopsi teknologi baru dengan cepat, permintaan terhadap pekerja terampil, khususnya yang telah mengemban pendidikan tinggi, kian meningkat. Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sedang berada dalam tekanan untuk memenuhi permintaan ini. Ketidaksesuaian keterampilan karena kualifikasi pendidikan yang rendah dan buruknya kualitas sekolah menjadi semakin banyak terlihat pada tenaga kerja Indonesia (Bank Dunia, 2020). Sekitar 51,5 % pekerja Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat karena kedua hal tersebut (Allen, 2016; Bank Dunia, 2020). Alhasil, lebih dari 80% perusahaan Indonesia mengaku kesulitan merekrut pekerja profesional yang terampil dan produktif (Wihardja & Cunningham, 2021).
Maka dari itu, Kemendikbudristek harus meningkatkan upaya perbaikan kualitas pendidikan tinggi Indonesia guna membekali tenaga kerja dengan kompetensi kognitif dan teknis yang dibutuhkan untuk menunjang pembangunan ekonomi (Allen, 2016).
Inisiatif-Inisiatif untuk Meningkatkan Kualitas Perguruan Tinggi
Pemerintah Indonesia telah menguraikan tujuan-tujuannya untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi agar menambah daya saingnya di tingkat global. Kemendikbudristek memiliki sejumlah program untuk memperbaiki ekosistem pengajaran dan riset di Indonesia.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengelola dana abadi untuk pendidikan yang ditujukan salah satunya untuk riset dan pendidikan tinggi. Hingga 2022, dana abadi untuk penelitian telah membiayai 1.668 proyek riset dengan total nilai IDR 1,4 triliun dan secara signifikan meningkatkan jumlah riset universitas-universitas yang berpartisipasi (PANRB, 2022). Contohnya, jumlah riset Universitas Indonesia di tahun 2022 saja meningkat 20,0% dari tahun sebelumnya karena menerima dana abadi penelitian dari LPDP (Yamin, 2022).
Selain itu, dana abadi khusus untuk pendidikan tinggi negeri juga diluncurkan pada 2022. Program ini membantu Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) untuk menyiapkan dana abadi institusinya sendiri (Dana Abadi Perguruan Tinggi atau DAPT) (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2022). Dana abadi ini penting untuk mendorong riset dan inovasi di tingkat universitas, mengingat adanya keterbatasan pendanaan dari Kemendikbudristek. Meski PTN-BH diberikan wewenang tata kelola secara mandiri, baru belakangan ini mereka diperbolehkan mengelola dana abadi dan diberi kebebasan mengalokasikan jumlah yang besar untuk riset dan inovasi. Namun demikian, meski universitas memiliki otonomi tersebut, penerapannya masih jauh dari kata efektif karena akademisi masuk dalam kategori pegawai negeri, sehingga masih harus tunduk kepada birokrasi pemerintah. Di samping itu, otonomi ini masih belum memberi hasil yang berarti dalam memperbaiki iklim dan manajemen riset universitas (Jarvis & Mok, 2019; Rakhmani & Siregar, 2016).
Sebuah inisiatif untuk mengembangkan kapasitas profesor-profesor di Indonesia juga telah diperkenalkan sejak 2017 dengan adanya program World Class Professor (WCP). Program ini bertujuan untuk memberikan akses kolaborasi antara akademisi Indonesia dengan para profesor internasional yang sudah mempublikasikan makalah di jurnal-jurnal bereputasi. Mengingat besarnya peran reputasi akademik dan jumlah sitasi (citation) dalam menentukan kualitas universitas, program WCP dirancang untuk memperbaiki kinerja universitas Indonesia secara bertahap (Dirjen Dikti, t.t.). Program ini diharapkan akan membuka peluang pertukaran pengetahuan, meningkatkan jumlah riset berkualitas, memperkenalkan perguruan-perguruan tinggi Indonesia kepada komunitas akademik global secara lebih luas, dan mendorong kolaborasi riset di masa mendatang. Namun, keefektifan program ini masih diragukan, melihat posisi perguruan tinggi Indonesia di tingkat global yang relatif stagnan dalam beberapa tahun belakangan.
Untuk menyokong perkembangan profesional akademisi, Kemendikbudristek membuat sebuah program untuk dosen-dosen Indonesia yang ingin melanjutkan studi S2 dan S3 di luar negeri dengan LPDP dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Program-program ini mensyaratkan para penerima beasiswanya untuk kembali ke Indonesia dengan harapan pengetahuan dan pengalaman internasional yang telah diperoleh dari universitasuniversitas kelas dunia di luar negeri dapat membantu mengembangkan pengajaran di universitas asal mereka[8]. Selain itu, sejak 2012, Ditjen Dikti Kemendikbudristek telah menawarkan program untuk mengirimkan profesorprofesor Indonesia ke perguruan tinggi dan pusat penelitian di luar negeri melalui Scheme for Academic Mobility and Exchange (SAME) (Ditjen Dikti, 2020b).
Guna memantau kinerja riset, Ditjen Dikti meluncurkan sebuah basis data (database) web bernama SINTA (Science and Technology Index) yang mencatat hasil penelitian para akademisi Indonesia dengan menyimpan dan menganalisis sitasi dari makalah-makalah mereka. SINTA digabungkan dengan analisis WCU, sebuah platform yang menyediakan informasi terkait kemajuan perguruan tinggi Indonesia, yakni untuk melihat dan menunjang universitas-universitas Indonesia dalam meningkatkan peringkat globalnya. Akan tetapi, peran SINTA dalam mengukur kinerja riset dikritik karena peneliti-peneliti dengan nilai tertinggi adalah mereka yang mempublikasikan makalahnya di jurnal-jurnal tidak bereputasi dan mengutip diri sendiri (self-citing) secara berlebihan (Rochmyaningsih, 2019). Ini menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan dalam mengukur kualitas makalah-makalah yang terdaftar di SINTA, dan platform ini bukanlah indikator yang reliabel untuk mengukur hasil penelitian.
Kendati terdapat sejumlah upaya untuk mendukung riset dan inovasi serta memfasilitasi dosen dalam menjalin hubungan dengan komunitas akademik internasional di tingkat global, program-program ini masih hanya dapat diakses oleh segelintir akademisi dan institusi. Pasalnya, mayoritas peserta berasal dari universitas-universitas di Pulau Jawa karena mereka cenderung lebih mudah mendapatkan informasi dan koneksi dengan pemerintah pusat, donatur, atau bahkan perwakilan industri (Rakhmani & Siregar, 2016).
Contohnya, program WCP mewajibkan calon pesertanya untuk berasal dari universitas dengan akreditasi minimal B. Sebaliknya, program SAME memprioritaskan para profesor yang berasal dari universitas yang telah memiliki Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding atau MoU) dengan perguruan tinggi internasional. Persyaratan-persyaratan ini dipandang sebagai hambatan bagi institusi-institusi di luar Pulau Jawa, khususnya yang swasta dan tidak terakreditasi, karena mereka memiliki keterbatasan institusional dan akademik.
Berbagai kebijakan dan program Ditjen Dikti Kemendikbudristek yang dirancang untuk memperbaiki kualitas perguruan-perguruan tinggi Indonesia belum begitu berhasil dalam memfasilitasi kemajuan yang signifikan, sehingga menghambat mereka dalam mengambil berbagai peluang strategis yang dapat meningkatkan kapasitas dan reputasi akademiknya.
Kehadiran PTLN di Indonesia
Kedatangan kampus-kampus asing di Indonesia dapat mengisi kesenjangan yang ada dan memberikan akses lebih besar terhadap pendidikan berkualitas di dalam negeri kepada mahasiswa Indonesia. Pemerintah telah mengizinkan Perguruan Tinggi Luar Negeri (selanjutnya disingkat PTLN) untuk mendirikan kampus fisik di Indonesia.
Dengan inisiatif untuk menjadi tuan rumah bagi universitas-universitas kelas dunia, pemerintah ingin meningkatkan reputasinya dalam lanskap pendidikan global dan menunjukkan bahwa ekonominya telah melewati modernisasi (Lane, 2011).
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 53/2018 merupakan peraturan pertama yang mengatur pemberian wewenang pendirian PTLN di Indonesia[9], yang dijelaskan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 40/2021 bahwa PTLN dapat mendirikan kampus fisik di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)[10], Lebih lanjut lagi, ketentuan mengenai PTLN di KEK dalam Permenristekdikti No. 53/2018 telah dicabut dan diuraikan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 10/2021 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk satuan Pendidikan Formal di Kawasan Ekonomi Khusus.
Dengan demikian, PTLN yang didirikan di KEK tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang berbeda dari ketentuan untuk PLTN di luar KEK, yang meliputi persyaratan yang ketat terkait izin beroperasi dan standar akademik (Tabel 1).
Terlepas dari sejumlah perbedaan tersebut, semua PTLN diregulasi oleh peraturan yang sama di Permenristekdikti No. 53/2018. Misalnya, semua PTLN wajib membuka setidaknya dua program studi yang berhubungan dengan Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika (Science, Technology, Engineering, and Mathematics atau STEM) dan memberikan mata kuliah nasional wajib seperti Pancasila, Agama, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Kewarganegaraan (Permendikbud No. 10/2021 menjelaskan bahwa mata-mata kuliah nasional wajib tersebut diperuntukkan bagi program sarjana). Selain itu, kualitas pendidikan dan prasarana yang diberikan oleh PTLN harus setara dengan kualitas pendidikan dan prasarananya di negara asal. Mahasiswa juga harus bisa mendapatkan kualifikasi lulusan yang sama dengan kualifikasi mahasiswa institusi di negara asal. Ini menunjukkan bahwa kehadiran PTLN di Indonesia dapat membuka peluang bagi mahasiswa Indonesia untuk memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan tingkat dunia tanpa harus menempuhnya di luar negeri (Perwakilan Kemendikbudristek, 2022).
PTLN juga dapat meningkatkan daya saing serta mendorong kampus-kampus lokal untuk memperbaiki kualitas dan layanannya (Hou, Hill, Chen & Tsai, 2018; Wawancara dengan Perwakilan Kemendikbudristek, 2022). Menurut Pasal 2 Permenristekdikti No. 53/2018, pendirian PTLN bertujuan untuk meningkatkan daya saing lulusan Indonesia dan lembaga perguruan tinggi secara luas. Selain itu, keberadaan PTLN juga dapat memupuk hubungan antara universitas lokal dengan PTLN, sehingga perguruan-perguruan tinggi Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan reputasinya (Sutrisno, 2019). Adanya PTLN di Indonesia diharapkan dapat memberi dampak positif terhadap kinerja perguruan tinggi lokal melalui kemitraan, seperti peningkatan transfer pengetahuan dan teknologi, keterampilan, serta adopsi inovasi (Farole, 2011). Akan tetapi, kemitraan antara PTLN di KEK dan universitas dalam negeri berpotensi sulit terjalin karena tidak adanya ketentuan terkait ini dalam regulasi.
Studi Kasus: Monash University Indonesia
Meski telah diperbincangkan selama bertahun-tahun, pendirian kampus asing baru dilakukan setelah penandatanganan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA)[11] dengan Monash University yang mengumumkan secara formal rencana membuat kampus cabangnya di Indonesia. Dengan dibukanya Monash University Indonesia pada 2021, diharapkan juga bahwa ke depannya PTLN lain dapat membuka kampus cabangnya di Banten maupun wilayah lain di Indonesia untuk menciptakan pusat pendidikan yang menarik mahasiswa lokal dan internasional.
Hingga 2022, Monash University Indonesia menawarkan program-program pascasarjana dan eksekutif di bidang Kebijakan Publik dan Manajemen, Ilmu Data, Desain Perkotaan, Bisnis dan Inovasi, Keamanan Siber, dan Kesehatan Masyarakat (Monash University Indonesia, t.t.). Sejumlah jurusan yang ditawarkan masih belum tersedia di perguruan tinggi Indonesia, sehingga dapat menarik calon mahasiswa untuk mendaftar dengan harga yang lebih hemat, yang sebelumnya hanya tersedia di luar negeri.
Pada Desember 2021, Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta), sebuah universitas negeri di Provinsi Banten, mendapatkan kesempatan untuk membentuk kemitraan dengan Monash University Indonesia. Kemitraan ini menghasilkan berbagai jenis kegiatan kolaboratif, seperti kerja sama riset, pertukaran sumber daya akademik, akademisi, dan mahasiswa, serta kegiatan akademik bersama mulai dari seminar, lokakarya, hingga pengabdian masyarakat (Untirta, 2022a). Jenis kemitraan seperti ini juga sudah diterapkan di universitas-universitas Singapura dengan mitra-mitra kampus cabangnya. Ini merupakan ‘nilai jual’ untuk perguruan tinggi yang membedakan posisi mereka dari institusi lain, sehingga menarik calon mahasiswa dan kolaborator (Olds, 2007).
Sebuah MoU antara Monash University Indonesia, Untirta, dan Provinsi Banten juga ditandatangani pada tahun yang sama; memperlihatkan komitmen Monash University Indonesia untuk membantu mengembangkan talenta dan potensi lokal Banten, selaras dengan program-program pemerintah daerah yang berfokus pada ketahanan dan diversifikasi pangan dan pengembangan pariwisata (Bappeda, 20212). Kerja sama ini diejawantahkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan terencana seperti pengembangan produk pertanian lokal Banten (talas beneng) oleh pusat penelitian pertanian Monash University Indonesia dan Untirta, dan program community outreach internasional di desa-desa di Banten (Untirta, 2022b)[12]. MoU trilateral ini menunjukkan bahwa kerja sama yang dilakukan tidak hanya berhubungan dengan urusan akademik dan riset, tetapi juga menyentuh masyarakat sekitar, mendorong keunggulan lokal, dan meningkatkan perekonomian Banten. Hal serupa juga dapat dilihat dalam studi kasus yang dilakukan oleh Pohl dan Lane (2018) di Qatar, Uni Emirat Arab, dan Malaysia. Studi kasus tersebut memperlihatkan bahwa kampus-kampus asing memberi sumbangsih yang signifikan terhadap pesatnya perkembangan riset dan pembangunan di negara-negara tuan rumahnya.
Di sisi lain, kerja sama dengan universitas lokal dapat memberikan keuntungan bagi PTLN untuk berkembang dan berekspansi di Indonesia. Wawasan dari universitas-universitas mitra dapat membantu PTLN dalam merancang pengajaran dan penelitiannya agar lebih relevan dengan kondisi lokal sekaligus menjaga standar kualitas dari kampus di negara asalnya (Girdzijauskaite & Radzeviciene, 2014).
Menurut pernyataan Perwakilan Untirta (2022), kerja sama dengan Monash University Indonesia juga akan menjembatani hubungan mereka dengan kampus utama Monash, sehingga dapat mempromosikan kolaborasi pendidikan tinggi lintas batas secara lebih luas.
Namun, Perwakilan Untirta (2022) juga mengatakan bahwa menjalin dan menjaga kemitraan dengan kampus asing tidaklah mudah, karena staf kampus dan akademisinya juga harus memiliki kapasitas dan keterampilan di taraf tertentu, seperti kemampuan bahasa Inggris dasar untuk berkomunikasi dan membina hubungan antar institusi. Pernyataan ini didukung oleh Hunter et al. (2018), yang berpendapat bahwa para pemangku kepentingan harus dibekali dengan keterampilan-keterampilan seperti kemampuan berbahasa dan berkomunikasi secara efektif dalam lingkungan yang multikultural. Maka dari itu, pengembangan kapasitas internal universitas untuk mendapatkan lebih banyak paparan internasional menjadi penting mengingat proyeksi pendirian cabang kampuskampus asing lainnya di Indonesia di masa mendatang.
Rekomendasi Kebijakan untuk Mengoptimalkan Keberadaan PTLN di Indonesia
Memasukkan PTLN di Indonesia ke dalam kebijakan-kebijakan dan program-program pendidikan tinggi
Kemendikbudristek perlu memasukkan PTLN ke dalam kebijakan dan kegiatan pendidikan tinggi di Indonesia untuk memanfaatkan keberadaannya secara maksimal. Misalnya, LPDP dan BPI dapat menjadikan PTLN di Indonesia sebagai kampus tujuan pascasarjana atau memberikan peluang kepada mahasiswa dan akademisi dalam negeri untuk mendapatkan pengalaman internasional dari PTLN melalui program pertukaran mahasiswa, beasiswa, atau penelitian bersama.
Membina hubungan dan kerja sama antara universitas lokal dengan PTLN
Kemendikbudristek perlu senantiasa mendukung pembentukan kemitraan dan peluang-peluang yang dapat memupuk hubungan antara PTLN dengan perguruan tinggi Indonesia, khususnya untuk PTLN di KEK, yakni untuk mendorong transfer pengetahuan dan menambah kesempatan kolaborasi di masa depan. Sebagaimana dapat terlihat dalam kemitraan antara Monash University dengan Unitirta, kolaborasi seperti ini dapat menghasilkan kerja sama riset, pertukaran kepakaran, serta kegiatan-kegiatan akademik bersama yang menciptakan peluang lebih besar untuk memperbaiki mutu sektor pendidikan tinggi di Indonesia secara keseluruhan. Melihat bahwa akan ada lebih banyak PTLN yang beroperasi di Indonesia ke depannya, Kemendikbudristek perlu memfasilitasi hubungan ini untuk meningkatkan kualitas dan daya saing perguruan tinggi, khususnya yang ada di luar Pulau Jawa, dan memanfaatkan keberadaan PTLN di Indonesia secara maksimal.
Mengembangkan sumber daya manusia perguruan tinggi agar dapat mengambil manfaat dari hubungan dengan komunitas akademik global, khususnya PTLN di Indonesia
Kemendikbudristek harus mengutamakan pengembangan kapasitas perguruan tinggi Indonesia secara berkelanjutan supaya dapat berdiri sejajar dengan PTLN melalui program-program pengembangan kapasitas bagi akademisi dan membangun ekosistem riset yang kondusif di Indonesia. Akademisi merupakan fokus utama dalam upaya institusi meningkatkan kualitas. Sehingga, adalah hal yang penting untuk membekali mereka dengan berbagai keterampilan yang dibutuhkan dan membantu mereka berfokus pada mengajar dan melakukan penelitian. Kemendikbudristek dan perguruan-perguruan tinggi Indonesia perlu mempertimbangkan fasilitasi program-program pengembangan kapasitas bagi akademisi untuk mengembangkan pengetahuan dan kepakaran mereka, serta meningkatkan kepemilikan pekerjaan (job ownership) dan kapasitas individu demi kelancaran hubungan dengan mitra-mitra internasional, seperti kolaborasi, negosiasi, dan kemampuan berbahasa asing. Dalam jangka panjang, upaya ini akan membangun hubungan yang lebih berdampak dan saling menguntungkan, terutama di bidang penelitian, antara PTLN dan universitas Indonesia yang sesuai dengan strategi institusi kedua belah pihak.
Catatan Kaki
Pendidikan tinggi merujuk kepada tingkat pendidikan dari program diploma, sarjana, magister, doktor, profesional, dan spesialis yang diselenggarakan oleh universitas.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, pendidikan tinggi di Indonesia dibagi menjadi beberapa jenis, yakni universitas, politeknik, institut, akademi, dan sekolah tinggi. Namun, ringkasan kebijakan ini hanya akan berfokus pada jenis universitas.
World Class University (WCU) adalah sebuah prakarsa oleh Kemendikbudristek untuk menunjang universitas-universitas unggulan Indonesia masuk ke daftar peringkat universitas terbaik.
QS WUR adalah salah satu publikasi yang diakui secara universal, yang membuat peringkat kualitas institusi-institusi pendidikan tinggi di seluruh dunia. QS WUR mengukur kualitas universitas berdasarkan sejumlah indikator seperti reputasi akademik, reputasi pemberi kerja, rasio fakultas dan mahasiswa, sitasi per fakultas, dan rasio fakultas dan mahasiswa internasional.
Yaitu Universitas Gadjah Mada (urutan ke-254), Universitas Indonesia (urutan ke-290), Institut Teknologi Bandung (urutan ke-303), dan Universitas Airlangga (urutan ke-465).
Sistem akreditasi pendidikan tinggi Indonesia terdiri atas tiga tingkatan: A, B, dan C, dimana A adalah yang tertinggi dan C adalah yang terendah. Pada 2022, Ditjen Dikti secara bertahap memperkenalkan sistem akreditasi baru, yang terdiri atas predikat Unggul (setara A), Baik Sekali (setara B), dan Baik (setara C). Hingga saat ini, hanya ada beberapa universitas yang telah mengonversikan akreditasinya ke sistem akreditasi yang baru karena masa akreditasinya sudah kedaluwarsa.
Basis data bibliografi internasional berisi abstrak dan sitasi artikel jurnal akademik.
Peserta kedua program ini diharapkan kembali ke Indonesia dan menerapkan pengetahuan dan kepakaran yang telah diperoleh, dengan tujuan membantu memperbaiki kualitas sistem pendidikan Indonesia.
Pada 2014, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi digabung dengan Kementerian Riset dan Teknologi, tetapi kembali menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019. Pada April 2021, Kementerian Riset dan Teknologi digabung dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah wilayah khusus yang ditujukan untuk memaksimalkan kegiatan-kegiatan yang memiliki manfaat ekonomi dan geostrategi yang signifikan untuk mendorong pembangunan ekonomi nasional. Kawasan ini menerima insentif-insentif fiskal dan non-fiskal tertentu yang berbeda dengan daerah lainnya untuk menarik aliran investasi ke Indonesia. Hingga Desember 2022, Indonesia telah memiliki 19 KEK, 12 di antaranya sudah beroperasi dan sisanya masih dalam tahap pembangunan.
IA-CEPA merupakan sebuah kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Australia yang memberikan peluang lebih besar di bidang perdagangan dan investasi, termasuk investasi pendidikan tinggi. IA-CEPA secara resmi berlaku pada 5 Juli 2020.
Untuk mengatasi kekhawatiran terkait krisis pangan yang semakin berkembang di Indonesia, CIPS merekomendasikan pendirian pusat penelitian di universitas-universitas lokal dimana mereka dapat bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya–seperti sektor swasta dan institusi lainnya– untuk mengembangkan produk-produk pertanian lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat: Expanding Hybrid Rice Production in Indonesia.
Referensi
Allen, E. R. (2016). Analysis of trends and challenges in the Indonesian labor market. Asian Development Bank, 16. Retrieved from: https://www.adb.org/publications/analysis-trends-and-challenges-indonesian-labor-market
Antara. (2022, April 15). Banyak Kampus, BSD Serpong Ditetapkan jadi Kawasan Ekonomi Khusus Pendidikan. Tempo. Retrieved from: https://metro.tempo.co/read/1582451/banyak-kampus-bsd-serpong-ditetapkan-jadi-kawasan-ekonomikhusus-pendidikan
Directorate General of Higher Education (2020). Statistik Pendidikan Tinggi 2020. Retrieved from: https://pddikti.kemdikbud.go.id/asset/data/publikasi/Statistik%20Pendidikan%20Tinggi%202020.pdf
DGHE (n.d.). Study In Indonesia. Retrieved from: https://studyinindonesia.kemdikbud.go.id/web/post/services/world-classprofessor
DGHE. (2020). Panduan SAME 2020). Retrieved from: https://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/05/PanduanSAME-2020.pdf
Ecctis. (2022). Indonesian International Branch Campus Feasibility Study and Overview of TNE across ASEAN. Retrieved from: https://www.ecctis.com/Documents/Feasibility%20Study%20for%20Indonesia%20International%20Branch%20Campus.pdf
Farole, T. (2011). Special Economic Zones in Africa: Comparing Performance and Learning from Global Experience. The World Bank. Retrieved from:https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/2268/600590PUB0ID181onomic09780821386385.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Girdzijauskaite, E., & Radzeviciene, A. (2014). International Branch Campus: Framework and strategy. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 110, 301–308. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.12.874
Higher Education Data Center. (2020). Grafik Jumlah Dosen Aktif Berdasarkan Jenis Kelamin. Retrieved from: https://pddikti. kemdikbud.go.id/dosen
Hou, A.YC.,Hill, C., Chen, K.H.J.C., & Tsai, S. (2018). A comparative study of international branch campuses in Malaysia, Singapore, China, and South Korea: regulation, governance, and quality assurance. Asia Pacific Education Review, 19, 543-555. Retrieved from:https://doi.org/10.1007/s12564-018-9550-9
Hunter, F., Jones, E.,& dW, H. (2018). The staff who are overlooked in internationalisation. University World News, 527. Retrieved from: http://www.universityworldnews.com/article.php?story=20181031081234166
Indonesian Cabinet Secretariat. Dana Abadi Perguruan Tinggi, Kolaborasi Tingkatkan Daya Saing Indonesia di Kancah Global. Retrieved from: https://setkab.go.id/dana-abadi-perguruan-tinggi-kolaborasi-tingkatkan-daya-saing-indonesia-di-kancahglobal/
Lane, J.E. (2011). Importing Private Higher Education: International Branch Campuses. Journal of Comparative Policy Analysis: Research and Practice, 13(4), 367-381.
Retrieved from: https://doi.org/10.1080/13876988.2011.583106
Macháček, V., & Srholec, M. (2021). Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences. Scientometrics, 126(3), 1897–1921. https://doi.org/10.1007/s11192-020-03852-4
Ministry of Education Malaysia. (2015). Malaysia Education Blueprint 2015-2025 (Higher Education). Retrieved from: https://www.kooperation-international.de/uploads/media/3._Malaysia_Education_Blueprint_2015-2025__Higher_Education__.pdf
Monash University Indonesia. (2022, November). Monash University in Indonesia Courses. Retrieved from: https://www.monash. edu/study/indonesia-campus-courses OECD. (2018). PISA 2018: Insight and Interpretations. Retrieved from: https://www.oecd.org/pisa/PISA%202018%20Insights%20and%20Interpretations%20FINAL%20PDF.pdf
OECD. (2021). Indonesia - overview of the education system (EAG 2022). https://gpseducation.oecd.org/CountryProfile?primaryCountry=IDN&treshold=10&topic=EO (Accessed: September 2022).
Olds, K. (2007). Global Assemblage: Singapore, Foreign Universities, and the Construction of a “Global Education Hub”. World Development, 35(6), 959-975. Retrieved from:https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2006.05.014
PANRB. (n.d.). Pemerintah Sudah Menempatkan Dana Abadi Pendidikan Rp99,11 Triliun. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Retrieved from: https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/pemerintahsudah-menempatkan-dana-abadi-pendidikan-rp99-11-triliun
Pohl, H., & Lane, J.E. (2018). Research contributions of international branch campuses to the scientific wealth of academically developing countries. Scientometrics, 116, 1719-1734. Retrieved from:https://doi.org/10.1007/s11192-018-2790-y
Putera, P. B., Suryanto, S., Ningrum, S., Widianingsih, I., & Rianto, Y. (2022). Increased number of Scopus articles from Indonesia from 1945 to 2020, an analysis of international collaboration, and a comparison with other ASEAN countries from 2016 to 2020. Science Editing, 9(1), 62–68. https://doi.org/10.6087/kcse.265
QS Top Universities. (2022). QS World University Rankings 2022. Retrieved from: https://www.topuniversities.com/universityrankings/world-university-rankings/2022
Rakhmani, I. & Siregar, F. (2016). Reforming Research in Indonesia: Policies and Practices. The Global Education Network. Retrieved from: http://cipg.or.id/wp-content/uploads/2016/04/GDN-DR-Indonesia.pdf
Regional Development Planning Agency. (2021). Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi Banten Tahun 2022. Retrieved from:https://bappeda.bantenprov.go.id/lama/upload/2021/Materi%20Musrenbang/Kepala%20Bappeda%20 Provinsi%20Banten.pdf
Rochmiyaningsih, D. (2019). How to Shine in Indonesian Science? Game the System. Retrived from: https://www.science.org/ content/article/how-shine-indonesian-science-game-system?cookieSet=1
Rosser, A. (2018). Beyond access: Making Indonesia ’s education system work. Lowy Institute. Retrieved from: https://thinkasia.org/bitstream/handle/11540/8034/Rosser_Beyond%20access.pdf?sequence=1
Statistics Indonesia. (2021). Statistik Pendidikan Indonesia 2021. Retrieved from https://www.bps.go.id/ publication/2021/11/26/d077e67ada9a93c99131bcde/statistik-pendidikan-2021.html
Untirta. (2022a, January). Untirta Jalin Kerja Sama dengan Monash University Australia dan Monash University Indonesia. Retrieved from:https://untirta.ac.id/2022/01/19/untirta-jalin-kerja-sama-dengan-monash-university-australia-danmonash-university-indonesia/
Untirta (2022b, January).Menggandeng Pemerintah Provinsi Banten, Untirta Kebut Realisasi MoU dengan Monash. Retrieved from:https://untirta.ac.id/2022/01/27/menggandeng-pemerintah-provinsi-banten-untirta-kebut-realisasi-mou-denganmonas/
World Bank. (2019). Educational attainment, at least Bachelor’s or equivalent, population 25+, total (%) (cumulative) - Indonesia, Thailand, Singapore. The World Bank, Databank. Retrieved October 12, 2022, from https://data.worldbank.org/indicator/ SE.TER.CUAT.BA.ZS?contextual=region&locations=ID
World Bank. (2020). Indonesia’s Occupational Employment Outlook. Retrieved from: https://perpustakaan.bappenas.go.id/elibrary/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/Policy_Paper/Occupational_Employment_Outlook_TREnglish.pdf
World Bank. (2021). Pathways to middle-class jobs in Indonesia. Retrieved from https://www.worldbank.org/en/country/ indonesia/publication/pathways-to-middle-class-jobs-in-indonesia
Yamin, K. (2022). Endowment fund enables ‘big step forward’ in HE, research. University World News. Retrieved from https:// www.universityworldnews.com/post.php?story=2022071414394082
Yasih, D.W.P. & Mudhoffir, A.M. (2017). How autonomous are Indonesian universities? Indonesia at Melbourne. Retrieved from: https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/how-autonomous-are-indonesian-universities/
Wawancara
Wawancara 1: Perwakilan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Komunikasi Pribadi.
Wawancara 2: Perwakilan dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (2022). Komunikasi Pribadi.
Kommentare