top of page

Innovative Credit Scoring Berpotensi Bantu Inklusi Keuangan


Indonesia termasuk negara yang terlambat menggunakan innovative credit scoring (ICS) untuk menilai kelayakan kredit bagi kaum yang tidak maupun kurang terjamah layanan keuangan formal dan para penyelenggaranya masih memerlukan payung hukum dan status perizinian yang jelas agar dapat memaksimalkan peluang dan menekan risiko.


"Perlu ada kejelasan regulasi terkait izin model bisnis ICS ini untuk memasuk pasar serta pembentukan Lembaga Perlindungan Data Pribadi yang independen untuk memastikan keamanan penggunaan data dalam ekosistem ICS,” ujar Muhammad Nidhal, Peneliti Muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

Nidhal menambahkan bahwa selain menghadirkan peluang meningkatkan inklusi keuangan, layanan ICS ini juga membawa sederet risiko, termasuk yang terkait privasi dan keamanan data, bias algoritma dan kecerdasan buatan, serta monopoli pasar oleh segelintir pemain ICS. Penyelenggara ICS membantu pemberi pinjaman dalam memperkirakan kapasitas dan kemampuan calon peminjam untuk mengembalikan pinjaman dengan menggunakan data pribadi non-konvensional si calon tersebut.


Penggunaan data non-konvensional seperti yang menyangkut pembayaran berbagai tagihan rutin maupun tidak, penggunaan media sosial, perilaku internet, sejarah transaksi e-commerce dan sebagainya dipertimbangkan untuk menghasilkan skor kredit seseorang. Profiling seperti ini dapat memfasilitasi inklusi keuangan, khususnya bagi golongan masyarakat yang belum tersentuh layanan keuangan atau perbankan (unbanked).


Tonton Webinar terkait Tantangan dan Risiko ICS di YouTube kami!


Evira Seotjoadi, Direktur PT Semangat Digital Bangsa, sebuah perusahaan penyedia layanan ICS, mengakui bahwa industri ini masih relatif baru di Indonesia, dan status perizinan penyelenggara ICS ini masih hanya “tercatat” di OJK, Ia menambahkan juga bahwa belum ada standar penentuan kelayakan kredit melalui ICS ini.


Evira juga mengatakan bahwa Indonesia pada saat ini masih berada pada tahap “edukasi” dimana masih diperlukan sosialisasi kepada lembaga-lembaga keuangan yang dapat menggunakan jasa ICS ini maupun kepada masyarakat luas.


Dalam hal ini OJK berkolaborasi dengan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) sebagai payung organisasi ICS dalam mempromosikan ICS terutama di daerah- daerah.


Ia mengatakan bahwa Indonesia kini memiliki sekitar 20 perusahaan penyedia layanan ICS yang tercatat di OJK, dan pada saat ini masing-masing perusahaan ini dapat menggunakan parameter dan standar yang berbeda dalam menentukan kelayakan kredit seseorang. Nidhal mengatakan bahwa pendekatan pengaturan bersama (koregulasi) berbasis risiko serta kejelasan proses regulatory sandbox bagi ICS diperlukan.


Selain itu, perlu pembaruan berkala terhadap pedoman perilaku penyedia ICS sehingga tetap sesuai dengan tantangan perlindungan konsumen yang terus berkembang saat ini.

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page