Siapa sih yang belum pernah membeli sesuatu secara daring, apakah itu makanan, minuman atau berbagai barang maupun layanan? Namun yang mungkin tak langsung kasat mata dibalik kenyamanan, kemudahan dan keragaman produk dalam berbelanja daring ini adalah adanya peran dan kontribusi nyata ribuan bahkan jutaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
UMKM, kenyataannya, memang merupakan salah satu penunjang utama perekonomian Indonesia. Laporan Kearney, sebuah konsultan manajemen global, yang berjudul “Capturing the growth of Indonesia’s digital trade sector” bahkan mencatat bahwa sekitar 70 persen dari pelaku sektor perdagangan Indonesia adalah UMKM.
Bahkan jika kita bertransaksi melalui para pelaku e-commerce super-app Indonesia, seperti Tokopedia dan Bukalapak, kita sebenarnya berhubungan, langsung maupun tak langsung, dengan UMKM.
Di balik penampilan menarik aplikasi daring para pelaku e-commerce besar ini, terdapat berbagai pemain informal maupun formal yang memasarkan produk mereka sendiri atau juga mereka yang sekadar menjual kembali produk, termasuk produk impor.
Belum lagi adanya kehadiran UMKM dari yang paling kecil hingga yang besar, yang langsung menjual produk mereka di media sosial, terutama sebelum dihentikannya perdagangan langsung melalui media sosial seperti Tik Tok beberapa bulan yang lalu.
Studi berjudul e-Conomy SEA 2022, yang diampu Google, Temasek dan Bain & Company, menyebutkan nilai ekonomi digital Indonesia mencapai sekitar USD 77 miliar pada 2022, dan dapat menyentuh angka USD 130 miliar pada 2025 dengan e-commerce sebagai pendorong utamanya.
Studi tersebut juga memperkirakan sumbangan e-commerce Indonesia pada ekonomi digital Indonesia di tahun tersebut mencapai USD 59 miliar atau 76,6 persen dan diperkirakan akan meningkat menjadi USD 95 miliar pada 2025 atau sekitar 73 persen dari nilai ekonomi digital saat itu.
Kemudahan akses untuk melakukan usaha secara daring, jangkauan yang luas, dan banyaknya pengguna internet di Indonesia mendorong seseorang membuka lapak untuk mendapatkan keuntungan.
Namun Bank Indonesia (BI) dalam laporan Pertemuan Tahunan BI 2023 memperkirakan nilai transaksi e-commerce di Indonesia tahun ini hanya akan mencapai Rp 474 triliun saja atau 11 persen lebih rendah dari perkiraannya di awal tahun atau sekitar 0,6 persen lebih rendah dari tahun sebelumya.
Penurunan ini dikesampingkan sebagai akibat lenyapnya pembatasan mobilitas selepas masa puncak epidemi Covid-19 dan untuk tahun 2024, BI memperkirakan nilai transaksi e-commerce akan kembali naik mencapai Rp 487 triliun, atau meningkat 2,8 persen bila dibandingkan dengan outlook 2023.
Pada tahun berikutnya, nilai transaksi ini diperkirakan akan meningkat lagi 3,3 persen menjadi Rp 503 triliun seiring dengan semakin masifnya teknologi, akselerasi digitalisasi sistem pembayaran, dan juga meningkatnya penerimaan dan preferensi masyarakat untuk bertransaksi secara digital.
Walaupun e-commerce memudahkan para pelaku usaha untuk menjangkau pasar yang lebih luas, data e-commerce 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masih banyak pemilik usaha lokal yang belum merambah bisnis digital.
Walaupun e-commerce memudahkan para pelaku usaha untuk menjangkau pasar yang lebih luas, masih banyak pemilik usaha lokal yang belum merambah bisnis digital.
Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah mengatakan bahwa terdapat 64,2 juta UMKM di Indonesia di tahun 2021 sementara MSME Empowerment Report 2022 mengatakan baru 83,8 persen dari pelaku UMKM yang sudah menggunakan internet dalam operasi mereka.
BPS mengatakan 78,12 persen menyatakan bahwa alasan untuk tidak bergabung dalam ekosistem transaksi digital adalah karena lebih nyaman berjualan secara langsung. Hampir 30 persen pelaku usaha merasa tidak tertarik berjualan online sementara pelaku usaha yang merasa kurang pengetahuan atau keahlian untuk beralih ke daring sebanyak 27,83 persen. Sementara itu, ada 13,80 persen memiliki alasan lain.
Oleh karenanya menjadi masuk akal bahwa untuk meningkatkan kontribusi UMKM pada perekonomian, terutama perekonomian digital, perlu diusahakan berbagai upaya.
Digitalisasi UMKM merupakan salah satu upaya yang perlu didorong dengan gencar agar peran serta kontribusi mereka bisa lebih membantu tercapainya cita-cita negeri ini untuk tidak saja menjadi pemain utama dalam kancah perekonomian digital di Kawasan Asia Tenggara tetapi juga menjadi salah satu pusat perdagangan digital dunia.
Transformasi digital adalah jawaban yang jelas. Ia akan mampu membuka peluang bagi pelaku sektor perdagangan, khususnya UMKM, untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas operasi bisnis mereka. Percepatan adopsi transformasi digital juga akan mempertahankan daya saing Indonesia.
Namun digitalisasi ekosistem UMKM ini masih menghadapi beberapa tantangan berat, termasuk kurangnya akses pembiayaan, sumber pendanaan dan investasi yang memadai, adopsi digital yang belum merata, operasi bisnis yang tidak efektif, persaingan yang ketat serta adopsi transaksi non-tunai yang rendah.
Kurangnya akses pembiayaan bisa ditangani dengan meningkatkan baik literasi digital maupun literasi keuangan pada para pelaku UMKM melalui edukasi dan pelatihan terfokus.
Rata-rata Investasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sektor perdagangan, termasuk bagi korporasi dan UMKM, di negara-negara tetangga regional dan negara-negara terkemuka dengan transformasi digital yang efektif - seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang - adalah 0,25 persen dari Produksi Domestik Bruto (PDB.)
Sementara di Indonesia, investasi seperti ini diperkirakan tahun 2030 hanya setara 0,03 hingga 0,04 persen dari PDB. Tidak terdapat perincian mengenai berapa investasi seperti ini yang dialamatkan kepada UMKM. Keterbatasan dana pemerintah menuntut peran swasta yang lebih besar dalam menyediakan investasi yang diperlukan untuk transformasi digital yang efektif ini.
Peran dan investasi sektor swasta sangat esensial untuk mendorong UMKM agar mempercepat adopsi solusi digital. Sementara itu, Pemerintah sebaiknya tidak membuat regulasi yang dapat menghambat partisipasi swasta dan kemudahan berusaha agar tercipta lingkungan yang mendukung inovasi dan peningkatan daya saing.
Peran dan investasi sektor swasta sangat esensial untuk mendorong UMKM agar mempercepat adopsi solusi digital.
Selain perlunya peningkatan dan penyetaraan kompetensi digital di kalangan UMKM, diperlukan juga lingkungan regulatif yang mendukung kemudahan berusaha, persaingan yang sehat serta mendorong tumbuhnya kewirausahawan.
Persaingan antara UMKM yang sangat ketat sesungguhnya dapat mendukung perluasan digitalisasi mereka karena akan semakin mendorong mereka untuk mencari peluang bisnis baru. Oleh karena itu, faktor-faktor eksternal penghambat inovasi dan perluasan adopsi digital yang harus menjadi perhatian.
Adopsi digital juga masih terpusat di kota-kota besar, sementara kota kota tier 2-4 dan daerah pedesaan di Indonesia jumlah penduduknya jauh lebih besar dari jumlah penduduk kota tier 1. Disini diperlukan tidak saja pemerataan cakupan jaringan internet tetapi juga pendidikan literasi digital yang memadai.
Operasi UMKM seringkali tidak dikelola dengan baik, dengan keuangan pribadi dicampur adukkan dengan keuangan operasi bisnis, dan tiadanya pencatatan dan pelaporan keuangan yang baik. Disini literasi keuangan serta literasi digital sama pentingnya.
Dalam mewujudkan perekonomian digital yang unggul, Indonesia dapat menyempurnakan struktur sektor perdagangan, terutama dalam mendorong daya saing UMKM dan layanan pelanggan, memperluas ekosistem sektor perdagangan, serta mereformasi tata kelola, pendanaan, dan lingkungan regulasi berdasarkan prinsip keterbukaan dan persaingan yang sehat.
Kommentare